Senin, 13 Desember 2010

epistemologi irfani

Nama : Reni Fadilah
NIM    : 08410215

2. Epistimologi Irfani
Kata irfan (gnose/gnosis) adalah bentuk masdar dari ‘arafa yang berarti pengetahuan, ilmu dan hikmah. Kemudian kata itu lebih dikenal dengan terminology mistik dengan ma’rifat dalam pengertian “pengetahuan tentang Tuhan”.Pengetahuan irfani merupakan pengetahuan esoteric yaitu pengetahuan yang diperoleh qalb melalui kasf, ilham dan ‘iyan (persepsi langsung).
Menurut irfaniyyun, pengetahuan tentang Tuhan (hakikat Tuhan) tidak dapat diketahui melalui bukti-bukti empiris-rasional, tetapi dapat diketahui melaluipengalaman langsung (mubasharah). Untuk dapat berhubungan langsung dengan Tuhan, seseorang harus mampu melepaskan diri dari segala ikatan dengan alam yang menghalanginya. Menurut konsep irfani, Tuhan dipahami sebagai realitas yang berbeda dan tidak berhubungan dengan alam. Sementara itu, akal, indera, dan segala yang ada di dunia ini merupakan bagian dari alam sehingga tidaklah mungkin mengetahui Tuhan dengan itu, satu-satunya perangkat yang dapat digunakan untuk mengetahui hakikat Tuhan adalah melalui nafs, sebab ia merupakan bagian dari Tuhan yang terlempar dari alam keabadian dan terpasung kealam dunia. Ia akan kembali kepadaNya apabila telah terbebas dari berhubungan dengan alam dan bersih dari segala dosa.
Konsep irfani ini kemudian dikembangkan oleh ashab al-akhwal wa al-shath sebagai mauqif, yakni keadaan dimana pemahaman seseorang terhadap dirinya untuk menemukan hakikat atau jatidiri yang sebenarnya sehingga dia mampu melepaskan diri dari alam dan menyatu dengan Tuhan., karena Tuhan merupakan al-haqiqat al-‘ulya . ketika bertemu dengan Tuhan, segala hakikat yang lain tertanam dengan sendirinya didalam kalbunya. Untuk sampai pada tingkat ini, seseoramng harus melakukan riyadah dan mujahadah secara intens.
Apabila dalam epistimologi bayani terdapat konsep al-lafz al-ma’na,dalam irfani terdapat konsep al-zahir al-bathin. Aliran gnosis dalam berbagai budaya menggunakan konsep zahir dan bathin sebagai dasar pandangannnya terhadap dunia dan cara memperlakukannya. Irfani dalam budaya arab-islam menjadikan teks bayani (al-qur’an dan hadits) sebagai pelindung dan penyinar. Irfaniyyun berusaha menjadikan zahir teks sebagai bathin. Sebagaimana yang dikutip oleh al-jabiri al muhasib  menjelaskan bahwa yang zahir adalah bacaan (tilawahnya) dan yang bathin adalah ta’wilnya. Ta’wil disinmi diartikan sebagai  transformasi ungkapan dari zahir ke bathin yang berpedoman pada isyarat  (petunjuk bathin).
Dalam epistimologi irfani ditemukan dua pasang karakter utama yang diandalkan sebagai metode operasionalnya, yaitu pasangan al-zahir-al-bathin, dan pasangan al-wilayah-al-nubuwah. Al-wilayah sebagai representasi dari yang bathin dan al-nubuwah sebaga representasi dari lahir.

4. Epistemologi Burhani

Evi Mualifah (08410064)

Al-Burhan artinya argument,bukti, atau alasan yang pasti dan jelas. Sebagai aktivitas pengetahuan, Burhani adalah episteme yang berargumentasi secara deduktif. Sedangkan dalam filsafat, burhani ini mencari kebenaran dengan bersumber dari realitas, misalnya hal-hal dari lingkungan social, budaya atau alam. Ketika episteme irfani menghasilkan pengetahuan dari proses intuisi, maka Burhani mendapatkannya melalui prinsip-prinsip logika yang sebelumnya sudah diyakini. Bias juga dengan hasil dari indera, selama itu sama saat diamati, kapanpun dan dimanapun (obyektif).
Epistemologi burhani ini menggunakan pendekatan berupa filosofis scientifik. Jenis argument pada burhani berupa demonstratif (eksploratif, verifikatif, eksplanatif).
Ilmu-ilmu pendukung dalam Burhani antara lain: failosuf dan ilmu alam, sosial dan humanitas.
Prinsip-prinsip dasar dari Burhani adalah Idrak al-asbab (prinsip kausalitas) dan al-Hatmiyyah (certainly/kepastian). Sedangkan tolok ukur validitas keilmuan dalam episteme ini ada 3, yaitu Korespondensi (hubungan antara akal dan alam), Koherensi (konsistensi logik), dan Pragmatik.
Banyak pemikir Muslim terutama dari dunia Islam bagian Barat yang telah menerapkan Burhani, seperti Ibn Rusyd, al-Syatibi, dan Ibnu Khaldun.
Epistemology Burhani tidak bisa berdiri sendiri begitu saja, harus ada dukungan dari epistemology lain yaitu Bayani dan Irfani. Ketiganya tidak boleh terpisahkan, hanya saja pada pelaksanaannya harus disesuaikan dengan konteks masalah yang dihadapi.
Epistemologi Burhani mempunyai implikasi antara lain, membangun pola pikir yang sistematis, logis, dinamis atau aktif, kreatis serta kritis.

1. Epistemologi FAZLUR RAHMAN

Nama : Muslimatun Hasanah
Nim    : 08410188

Epistemologi
Secara etimologis, kata epistemologi berasal dari bahasa yunani episteme yang berarti knowledge (pengetahuan) dan logos berarti the study of atau theory of. Secara harfiah epistemology berarti studi atau teory tentang pengetahuan (the study of or theory of knowledge). Namun, dalam diskursus filsafat, epistemology merupakan cabang dari filsafat yang membahas asal-usul, struktur, metode, dan kebenaran pengetahuan.
Pada awalnya pembahasan dalam epistemology lebih terfokus pada sumber pengetahuan (the theory of truth) pengetahuan. Pembahasan yang pertama berkaitan dengan suatu pertanyaan apakah pengetahuan itu bersumber pada akal pikiran semata (rasionalism), indera (empiricsm) atau intuisi. Sementara itu pembahasan yang ke dua terfokus pada pertanyaan apakah kebenaran pengetahuan itu dapat di gambarkan dengan pola korespondensi, koherensi ataukah praktis-pragmatis.selanjutnya, pembahasan dalam epistemology mengalami perkembangan yakni pembahasannya terfokus pada sumber pengetahuan, cara untuk membuktikan kebenaran pengetahuan, dan tingkat-tingkat kebenaran pengetahuan.
Untuk mengatasi keterbatasan epistemology yang hanya mengandalkan pada indera dan rasio, di perlukan perangkat yang ke tiga yaitu perangkat yang dapat mengakomodasi unsur rasa yaitu intuisi. Kemudian melalui intusi dapat di peroleh pengetahuan yang relative berbeda dari pengetahuan yang di hasilkan melalui perangkat indera dan rasio.
Dapat di ketahui bahwa epistemology yang berkembang di barat yang hanya terbatas pada rasionalisme, empirisme, dan pragmatism tidak begitu mencukupi untuk di jadikan kerangka teori dan alat analisis terhadap epistemology pemikiran Fazlur Rahman. Di antara argumennya adalah bahwa epistemology yang berkembang di barat lebih terfokus pada wilayah natural sciences, sedangkan pemikiran fazlur rahman terletak pada wilayah humanities, lebih khusus lagi pada wilayah diskursus Islamic studies. Bahkan dapat di katakan secara ringkas bahwa epitemologi pemikiran fazlur rahman mempunyai karakter pendekatan normative-historis.